-ˏˋ ❛ᴍɪɴɪ ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ ˊˎ- ┊ʙᴀꜱᴇᴅ ᴏɴ ᴅᴀʏ6 ꜱᴏɴɢꜱ
ꜱ ᴇ ʟ ᴀ ᴍ ᴀ ᴛ
❝Dariku, Untukmu ;
yang sempat kucinta,
yang sempat kucinta,
hingga mampu ku lepas tanpa ragu.❞
┊P A R T 2.O┊
ㅡㅡㅡ ♡ ㅡㅡㅡ
"Biru," tenggorokanku bergetar hebat ketika memanggil namanya.
Biru lantas menoleh dan tersenyum padaku sambil merangkul gadis di sisinya itu.
"Sayang, duduk yok, capek," gadis itu menarik tangan Biru menuju bangku yang ada di sebrangku. Dan mereka duduk berdekatan di sana. Tepat di hadapanku.
Mereka bercanda, bermesraan seakan kereta ini dikhususkan untuknya. Biru sesekali melirikku yang diam seribu bahasa. Terkejut, bahkan kata itu lebih dari apa yang tengah kurasakan saat ini.
Apa ini yang dia kata berpisah sejenak?
Bagaimana bisa dia terlihat baik-baik saja padahal kemarin ia nampak seperti orang mati.
Apa yang dia pikirkan ketika melihatku terdiam kaku seperti ini. Memandangi dua insan yang sedang kasmaran.
"Wah, Biru. Aku benar-benar takjub padamu," kataku, namun sepertinya mereka tidak menghiraukanku. Mungkin suaraku yang masih bergetar ditambah suasana riuh yang tidak mendukung.
Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri Biru. Perasaanku sudah tidak bekerja lagi. Gengsiku lenyap beberapa saat yang lalu.
Bahkan aku tak perlu bertanya pada hati soal apa yang hendak aku lakukan ini benar apa tidak.
Dengan mantapnya aku menyodorkan tanganku, dan di balas dengan tatapan kebingungan dari keduanya.
"Selamat, Biru,"
"Sayang, dia ini siapa?" Bisik sang gadis padanya yang kemudian ia jawab dengan "Aku gak kenal dia,"
"Apa ini, yang kamu bilang tentang waktu? Apa ini maksudmu soal berpisah sejenak?"
"Maaf anda ini siapa?" Balasnya tanpa rasa berdosa.
"Seolah gak terjadi apapun, kamu dengan mudahnya menghancurkan segala harap yang telah ku bangun untukmu. Biru, kamu sungguh terlihat bahagia sekarang,"
"Mengganggu kenyamanan orang lain bisa di hukum pidana," balasnya lagi. Persetan dengan pidana, aku hanya mau menuntaskan apa yang kurasa perlu.
"Apa gadis ini lebih baik dariku?
Biru lantas menoleh dan tersenyum padaku sambil merangkul gadis di sisinya itu.
"Sayang, duduk yok, capek," gadis itu menarik tangan Biru menuju bangku yang ada di sebrangku. Dan mereka duduk berdekatan di sana. Tepat di hadapanku.
Mereka bercanda, bermesraan seakan kereta ini dikhususkan untuknya. Biru sesekali melirikku yang diam seribu bahasa. Terkejut, bahkan kata itu lebih dari apa yang tengah kurasakan saat ini.
Apa ini yang dia kata berpisah sejenak?
Bagaimana bisa dia terlihat baik-baik saja padahal kemarin ia nampak seperti orang mati.
Apa yang dia pikirkan ketika melihatku terdiam kaku seperti ini. Memandangi dua insan yang sedang kasmaran.
"Wah, Biru. Aku benar-benar takjub padamu," kataku, namun sepertinya mereka tidak menghiraukanku. Mungkin suaraku yang masih bergetar ditambah suasana riuh yang tidak mendukung.
Aku beranjak dari dudukku dan menghampiri Biru. Perasaanku sudah tidak bekerja lagi. Gengsiku lenyap beberapa saat yang lalu.
Bahkan aku tak perlu bertanya pada hati soal apa yang hendak aku lakukan ini benar apa tidak.
Dengan mantapnya aku menyodorkan tanganku, dan di balas dengan tatapan kebingungan dari keduanya.
"Selamat, Biru,"
"Sayang, dia ini siapa?" Bisik sang gadis padanya yang kemudian ia jawab dengan "Aku gak kenal dia,"
"Apa ini, yang kamu bilang tentang waktu? Apa ini maksudmu soal berpisah sejenak?"
"Maaf anda ini siapa?" Balasnya tanpa rasa berdosa.
"Seolah gak terjadi apapun, kamu dengan mudahnya menghancurkan segala harap yang telah ku bangun untukmu. Biru, kamu sungguh terlihat bahagia sekarang,"
"Mengganggu kenyamanan orang lain bisa di hukum pidana," balasnya lagi. Persetan dengan pidana, aku hanya mau menuntaskan apa yang kurasa perlu.
"Apa gadis ini lebih baik dariku?
"Sudah mampukah dia menghapus semua tentangku?"
"Maaf, jika kamu berpikir aku akan mengatakan semoga bahagia, itu gak akan terjadi Biru,"
"Untuk apa aku mendoakan seseorang yang meninggalkanku terlebih dahulu,"
"Kamu siapa sih? Jangan ganggu kami," sepertinya sang gadis juga ikut tersulut emosi.
Aku sempat melirik ponsel milik Biru yang terpampang bebas begitu saja. Sepertinya ia baru memposting foto bahagia bersama gadis ini. Ah, dia juga mengganti akunnya. Aku tersenyum sarkas melihat hal itu. Padahal seminggu yang lalu ia sudah menghapus semua akun sosial medianya.
"Aku akan baik-baik saja, Biru. Hanya butuh beberapa hari bagiku untuk bersedih secukupnya,"
"Wah, foto kalian terlihat mesra ya. Sebahagia itukah kamu? Tersenyum selebar itu. Padahal bagiku, bernafas saja rasanya sudah gak sanggup,"
"Aku tebak nanti, setelah kamu putus dengannya, pasti kamu akan memulai membangun asmaraloka dengan yang lain, benar bukan?"
"Tapi maaf Biru, jika kamu kembali padaku, aku sudah tak punya ruang untuk kau singgahi. Sebenarnya aku gak berharap lebih soal itu,"
"Sekali lagi selamat, berbahagialah bersamanya. Seolah gadis bernama Stella gak pernah tercatat dalam ceritamu,"
Aku pun turun dari kereta itu meski belum sampai pada tujuan. Tujuanku sudah sirna, direbut insan yang lain.
Ah, untuk apa bersedih. Lagipula, ia sedang kasmaran. Aku tak bisa memaksa itu, dia berhak memilih, sama sepertiku yang memilihnya untuk jadi pelabuhan terakhir.
Namun prediksiku salah. Penantianku selama ini berujung pilu yang membiru.
ᴛʜᴇ ᴇɴᴅ
ㅡᴍɪɴɪ ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ ᴡʀɪᴛᴛᴇɴ ʙʏ ᴍᴏɴɪᴋᴀ
Komentar
Posting Komentar