-ˏˋ ❛ᴍɪɴɪ ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ ˊˎ- ┊ʙᴀꜱᴇᴅ ᴏɴ ᴅᴀʏ6 ꜱᴏɴɢꜱ
ʟᴇᴛᴛɪɴɢ ɢᴏ
❝Seperti sebuah lagu karya Pamungkas.
❝Seperti sebuah lagu karya Pamungkas.
I love you, but i'm letting go,❞
┊P A R T 1.O┊
ㅡㅡㅡ ♡ ㅡㅡㅡ
┊P A R T 1.O┊
ㅡㅡㅡ ♡ ㅡㅡㅡ
"Kak, hari ini aku perlu uang," ucap Jelita sambil meremat ujung baju seragamnya.
"Untuk apa?"
"Besok akan ada bazar di sekolah. Pasti banyak yang dijual di sana kak.. aku, juga ingin membeli,"
Aku mengagguk paham dan langsung menyodorkannya beberapa lembar uang kertas yang kurasa cukup untuknya. Namun, ia tampak menghela nafas pasrah setelah menerimanya.
"Makasih kak," ia pun pergi dari hadapanku.
Aku menghidupkan ponselku, ponsel lama yang memiliki kenangan luar biasa. Seulas senyum tertarik dari ujung bibirku kala mengingat tentang bagaimana aku memiliki ponsel ini.
Ia sungguh berharga, sama seperti dirinya, yang selalu ku kenang dalam jiwa.
Dengan segala keberanian yang ku punya, aku menekan kontak yang bertuliskan nama indahnya, yang terus menerus ku sebut ketika memandangi malam..
"Alea.."
"Tumben kamu menghubungiku,"
Suaranya yang dingin dan cuek seperti inilah, yang membuatku masih belum mampu 'tuk melepasnya.
"Maaf, tadinya Arez ingin menghubungi Alea. Tapi, Arez sibuk,"
"Kamu bekerja di restoran itu 'kan?"
"Hm, iya benar !" Aku sedikit senang ketika tau, bahwa ia mengetahui dimana tempatku bekerja.
"Bagaimana Alea taㅡ"
"Jadi OB?"
"Benar, bukankah itu suatu pekerjaan yang mulia? Arez senang bisa membuat mereka nyaman makan dalam keadaan bersih,"
Alea sempat diam dalam waktu yang cukup lama. Ah, kurasa ia juga senang mendengarnya sampai terharu.
Andai saja ia memang merasakan seperti itu.
"Apa kita, gak bisa kembali seperti dulu?"
"Maksud Alea apa?"
"Sampai kapan kamu mau membuatku terus menunggu Arez. Kapan kamu akan menemui orang tuaku?"
Nada bicaranya terdengar meninggu dan bergetar. Dulu aku pernah mengikat janji dengannya, bahwa aku akan melamarnya ketika semesta telah menyetujui.
Itu dulu, jauh sebelum dunia menjatuhkanku dalam keterpurukan ekonomi.
"Alea.. Arez janji,"
"Mau sampai kapan? Aku semakin menua Arez. Aku sangat ingin mempunyai keluarga. Kamu selalu saja berjanji tanpa adanya perlakuan yang pasti!"
"Ada yang ingin Arez katakan. Mari bertemu,"
"Jangan bercanda denganku lagi!"
"Arez serius, akan beri kepastian,"
Aku memutuskan sambungan teleponku, lalu mengusap wajah dengan kasar. Aku tau ini salahku, telah mengikat janji bodoh yang bahkan tak sanggup ku tepati.
ㅡ
Setelah memilih tempat untuk kita bertemu, aku langsung menuju ke sana. Niatku ingin datang lebih dulu dibanding dirinya. Namun ternyata, ia sudah berdiri di sana.
Tepat di bawah pohon rindang, tempat aku mengucap janji.
"Katakan pada intinya saja, aku sibuk," ucapnya tanpa sedikit pun melirikku.
"Duduklah dulu,"
Ia lantas duduk dengan memberi jarak denganku.
"Lihat Arez,"
Alea itu wanita lemah, dan sangat penurut. Makanya, sekarang ia langsung benar-benar menatapku dengan intens.
Kilauan di kedua matanya itu seakan memohon padaku untuk melepaskannya sekarang juga.
Aku terus memikirkan hal itu. Haruskah aku mengatakannya? Sejujurnya aku sangat tidak ingin. Tapi, tak ada jalan lain lagi.
"Arez sudah cukup lama menahan Alea,"
"Dan sekarang, Arez harus melepaskan. Arez gak bisa melakukan apapun. Hanya ini satu-satunya cara, agar Alea bisa bahagia seperti yang Alea pinta,"
"Jadi, Arez akan membiarkan Alea pergi,"
"Arez sangat ingin melihat Alea tersenyum lebar seperti dulu. Jikalau nanti kita bertemu lagi, pastikan pada saat itu Alea sudah bahagia, ya?"
"Untuk apa?"
"Besok akan ada bazar di sekolah. Pasti banyak yang dijual di sana kak.. aku, juga ingin membeli,"
Aku mengagguk paham dan langsung menyodorkannya beberapa lembar uang kertas yang kurasa cukup untuknya. Namun, ia tampak menghela nafas pasrah setelah menerimanya.
"Makasih kak," ia pun pergi dari hadapanku.
Aku menghidupkan ponselku, ponsel lama yang memiliki kenangan luar biasa. Seulas senyum tertarik dari ujung bibirku kala mengingat tentang bagaimana aku memiliki ponsel ini.
Ia sungguh berharga, sama seperti dirinya, yang selalu ku kenang dalam jiwa.
Dengan segala keberanian yang ku punya, aku menekan kontak yang bertuliskan nama indahnya, yang terus menerus ku sebut ketika memandangi malam..
"Alea.."
"Tumben kamu menghubungiku,"
Suaranya yang dingin dan cuek seperti inilah, yang membuatku masih belum mampu 'tuk melepasnya.
"Maaf, tadinya Arez ingin menghubungi Alea. Tapi, Arez sibuk,"
"Kamu bekerja di restoran itu 'kan?"
"Hm, iya benar !" Aku sedikit senang ketika tau, bahwa ia mengetahui dimana tempatku bekerja.
"Bagaimana Alea taㅡ"
"Jadi OB?"
"Benar, bukankah itu suatu pekerjaan yang mulia? Arez senang bisa membuat mereka nyaman makan dalam keadaan bersih,"
Alea sempat diam dalam waktu yang cukup lama. Ah, kurasa ia juga senang mendengarnya sampai terharu.
Andai saja ia memang merasakan seperti itu.
"Apa kita, gak bisa kembali seperti dulu?"
"Maksud Alea apa?"
"Sampai kapan kamu mau membuatku terus menunggu Arez. Kapan kamu akan menemui orang tuaku?"
Nada bicaranya terdengar meninggu dan bergetar. Dulu aku pernah mengikat janji dengannya, bahwa aku akan melamarnya ketika semesta telah menyetujui.
Itu dulu, jauh sebelum dunia menjatuhkanku dalam keterpurukan ekonomi.
"Alea.. Arez janji,"
"Mau sampai kapan? Aku semakin menua Arez. Aku sangat ingin mempunyai keluarga. Kamu selalu saja berjanji tanpa adanya perlakuan yang pasti!"
"Ada yang ingin Arez katakan. Mari bertemu,"
"Jangan bercanda denganku lagi!"
"Arez serius, akan beri kepastian,"
Aku memutuskan sambungan teleponku, lalu mengusap wajah dengan kasar. Aku tau ini salahku, telah mengikat janji bodoh yang bahkan tak sanggup ku tepati.
ㅡ
Setelah memilih tempat untuk kita bertemu, aku langsung menuju ke sana. Niatku ingin datang lebih dulu dibanding dirinya. Namun ternyata, ia sudah berdiri di sana.
Tepat di bawah pohon rindang, tempat aku mengucap janji.
"Katakan pada intinya saja, aku sibuk," ucapnya tanpa sedikit pun melirikku.
"Duduklah dulu,"
Ia lantas duduk dengan memberi jarak denganku.
"Lihat Arez,"
Alea itu wanita lemah, dan sangat penurut. Makanya, sekarang ia langsung benar-benar menatapku dengan intens.
Kilauan di kedua matanya itu seakan memohon padaku untuk melepaskannya sekarang juga.
Aku terus memikirkan hal itu. Haruskah aku mengatakannya? Sejujurnya aku sangat tidak ingin. Tapi, tak ada jalan lain lagi.
"Arez sudah cukup lama menahan Alea,"
"Dan sekarang, Arez harus melepaskan. Arez gak bisa melakukan apapun. Hanya ini satu-satunya cara, agar Alea bisa bahagia seperti yang Alea pinta,"
"Jadi, Arez akan membiarkan Alea pergi,"
"Arez sangat ingin melihat Alea tersenyum lebar seperti dulu. Jikalau nanti kita bertemu lagi, pastikan pada saat itu Alea sudah bahagia, ya?"
ㅡᴛᴏ ʙᴇ ᴄᴏɴᴛɪɴᴜᴇᴅ
ᴍɪɴɪ ꜱʜᴏʀᴛ ꜱᴛᴏʀʏ ᴡʀɪᴛᴛᴇɴ ʙʏ ᴍᴏɴɪᴋᴀ
Komentar
Posting Komentar